Sebelum mulai, saya punya rekaman dialog antara teman dengan seorang teman wanitanya:
A: Apa yang kamu lakukan apabila suamimu selingkuh? Memukulnya?
B: Tidak, karena itu bentuk kekerasan. Saya anti kekerasan.
A: Lantas?
B: Saya akan memarahinya.
A. Bukankan marah adalah bentuk kekerasan non-fisik? Kekerasan verbal?
B: Saya akan minta cerai.
A: Bukankah itu bentuk kekerasan terhadap anak? Kamu memaksakan kehendak ceraimu terhadap suami dan anak-anak.
B: Lagian pada awalnya kenapa dia selingkuh?
A: Tak usah membahas sebab karena penyebab adalah sesuatu yang sudah berlalu. Yang saya ingin tahu adalah persiapanmu terhadap akibat. Makanya di awal pertanyaan tadi saya menyisipkan kata "apabila".
B: Saya akan membalas selingkuh.
A: Bukankan itu juga bentuk kekerasan? Kekerasan terhadap komitmen hidup berumahtangga. Kekerasan suamimu kamu balas dengan kekerasanmu.
B: Saya akan diam
A: Ya, kamu akan diam. Karena kamu anti kekerasan.
Suatu hari, saya ikut mendengar siaran radio yang disetel adik ipar. Dia memilih Prambors. Di situ saya mendengar Prambors mengadakan semacam kampanye anti kekerasan dan menurut versi Prambors, kampanye itu sukses. Menurut versi saya, itu adalah kampanye pelembekan hati untuk generasi muda.
Anak muda sekarang di-gembleng (baca: dipropaganda) untuk tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun, karena dianggap sebuah tindakan terlarang. Generasi muda terus ditanam pemahaman seperti itu. Pemahaman ini akan berbuah sikap anti kekerasan. Sikap anti kekerasan ini akan menurun ke generasi berikutnya dan seterusnya. Di saat generasi sudah beganti dan sudah terbiasa tidak melakukan kekerasan, adalah saat dimana generasi mulai rentan dan tidak memiliki hati yang kuat untuk membela diri. Akibatnya bangsa kita akan mudah dijajah secara fisik, apalagi mentalnya sudah kena jajah di generasi sebelumnya.
Siapapun pencetus dan pelakunya, saya tidak setuju dengan kampanye anti kekerasan ini. Analoginya demikian:
Kita akan mencukur bulu hidung kalau bulu hidung kita offside. Kita akan menggunting kuku kalau kuku kita panjang. Bagi si bulu hidung, mencukur bulu hidung adalah sebuah tindakan kekerasan. Bagi si kuku, menggunting kuku adalah tindakan kekerasan. Tapi tetap kita lakukan demi keindahan dan kenyamanan.
Ayam yang kita makan harus disembelih. Sayuran yang kita masak harus dipetik terlebih dahulu. Dari sudut pandang ayam, penyembelihan adalah tindakan kekerasan. Dari sudut pandang tanaman sayur, pemetikan juga merupakan tindakan kekerasan. Tapi tetap kita lakukan demi sesuatu yang lebih penting: bertahan hidup.
Apa Prambors pikir kita bisa hidup tapa kekerasan? Pemikiran yang aneh. Saya pikir kekerasan itu perlu. Bolehlah kalau mereka mau hidup tanpa kekerasan. Lakukan saja analogi saya tadi. Tak usah makan nasi karena memotong padi adalah tindakan kekerasan bagi tanaman padi. Tanaman padi adalah makhluk bernyawa. Mereka tumbuh dari benih sampai matang. Memotong padi adalah tindakan pembunuhan terhadap tanaman padi, dan itu adalah kekerasan.
Di lain waktu, generasi Prambors tak usah makan daging karena penyembelihan adalah tindakan kekerasan bagi hewan yang bersangkutan. Ayam, sapi, ikan, udang, burung, kelinci, belalang, dan lainnya adalah mahkluk bernyawa. Mereka tumbuh dari kecil sampai dewasa. Kalau kita makan mereka, berarti kita harus menyembelih mereka. Menyembelih berarti menghilangkan nyawa. Dan itu adalah kekerasan.
Generasi Prambors juga tak boleh minum air. Air memang tak bernyawa. Tapi air yang diminum pasti diambil secara paksa dari tempat asalnya. Entah dari sungai, mata air, atau sumur. Jika melihat dari sudut pandang air, pengambilan paksa ini juga bentuk kekerasan.
Sementara bagi generasi Prambors yang sudah menikah, tak usah berhubungan suami-istri karena di hubungan suami-istri perlu adanya sebuah kekerasan. Kemudian bagi yang sedang hamil, tak usah melahirkan bayinya. Karena bagi si bayi, melahirkan adalah sebuah tindakan kekerasan. Sebuah pemaksaan kehendak, memindahkan dari tempat nyaman bayi (rahim) ke alam dunia nyata. Apalagi jika harus melalui sempitnya vagina sebagai jalur lahir. Bukankah itu kekerasan bagi si bayi? Dan kekerasan terhadap diri sendiri?
Menurut saya, tindakan kekerasan itu perlu dan harus tetap ada, tapi harus dilakukan secara tepat 5W+H-nya (What, when, where, why, who + how). Permasalahan kekerasan seperti tawuran timbul karena tidak adanya pembinaan akhlak. Manusia dengan akhlak bagus bisa mengelola kekerasan menjadi sesuatu tindakan bijak. Sedangkan dalam lingkungan keluarga, kekerasan diperlukan selama memenuhi alasan 5W+H yang tepat, untuk menghasilkan sesuatu yang lebih indah seperti contoh bulu hidung dan kuku. Atau untuk sebuah alasan yang berkepanjangan dan lebih dibutuhkan seperti contoh makan daging dan sayur. Atau untuk melanjutkan generasi seperti contoh kelahiran.
Yang harus difokuskan adalah bagaimana cara meng-handle kekerasan menjadi suatu tindakan bijak dan bermanfaat untuk hasil yang berkepanjangan.
Saya bukan ekstrimis. Saya hanya mencoba bijak menanggapi bahwa kekerasan itu adalah hal yang sebenarnya diperlukan dalam kehidupan. Tak usah dihilangkan. Saya menulis ini karena saya merasa ada kampanye terselubung dibalik ajakan sikap anti kekerasan. Kampanye terselubung untuk melembekkan hati generasi muda Indonesia.
Jadi, lakukanlah kekerasan seperlunya dengan cara tepat. Belajarlah mengelola kekerasan menjadi suatu tindakan bijak. Ketahuilah, Nusantara di masa lalu bisa mempertahankan kedigdayaannya karena manusia-manusianya bisa mengelola kekerasan secara bijak.